Jakarta – Masyarakat Ilmu Pemerintahan Indonesia (MIPI) menggelar webinar bertajuk “Membahas Pemekaran Papua Dalam Perspektif Ilmu Pemerintahan, Sabtu (18/6/2022). Webinar ini menghadirkan tiga narasumber, Rossy Lambelanova selaku Wakil Dekan Bidang Akademik IPDN, Kasubdit Direktorat Penataan Daerah Otsus dan Dewan Pertimbangan Otda Kuswanto, dan Wakil Ketua Komite I DPD RI Filep Wamafma.
Dalam sambutan pembukaannya, Sekretaris Jenderal (Sekjen) MIPI Baharuddin Thahir mengatakan, dalam tema kali ini sangat menarik dalam perspektif ilmu pemerintahan, salah satu yang dibahas dalam ilmu pemerintahan adalah desentralisasi dan demokrasi.
“Di dalam Papua sendiri kita paham tahun 2021 ada revisi UU Otsus No. 3 tahun 2021 tentang Otonomi Khusus, terkait pemekaran jauh sebelumnya kita mendengar bahwa Papua akan dimekarkan menjadi 7 provinsi mengikuti 7 kelompok adat yang besar di Papua,” katanya.
Wakil Dekan Bidang Akademik IPDN Rossy Lambelanova mengungkapkan, otonomi di Papua telah berjalan kurang lebih 20 tahun akan tetapi bisa dikatakan belum berhasil bila dilihat dari indikator kesejahteraan, tingkat pendidikan, kesehatan dan perekonomian.
“Pembentukan daerah Otonomi Papua adalah aspirasi masyarakat Papua. Semua bermula dari kesenjangan sejak zaman Soeharto selama 32 tahun papua seperti di anak tirikan, ditiinggalkan dan ditelantarkan,” jelasnya.
Dia menambahkan, IPM di tahun 2021 di wilayah papua yang tersebar di kab/kota se-Papua mengalami peningkatan seiring membaiknya IPM di papua. Kondisi ini jauh lebih baik daripada pada tahun tahun sebelumnya yang dimana pada hamper seluruh kab/kota se papua menurun. Peningkatan ini disebabkan oleh meningkatnya pengeluaran per kapita yang disesuaikan,” tegasnya.
Melengkapi penjelasan Rossy Lambelanova, Kasubdit Direktorat Penataan Daerah Otsus dan Dewan Pertimbangan Otonomi Daerah (Otda) Ditjen Otda Kemendagri, Kuswanto menjelaskan, pemekaran merupakan strategi dalam mengurai beberapa persoalan, yaitu pemekeran sebagai sarana dalam kerangkan pembangunan inklusif dengan pendekatan upaya pembangunan yang memperhatikan aspek lingkungan, sosial, budaya dan psikologis terutama kepada kelompok miskin dan marjinal.
“Sementara itu pemekaran Papua sebagai bagian dari transformasi konflik terutama yang bersifat vertical, dimana berbagai ketegangan antara pusat dan daerah harus bisa diselsaikan secara damai,” ujarnya.
Di sisi lain, Wakil Ketua Komite I DPD RI Filep Wamafma memgatakan, hampir seluruh dinamika pro kontra tentang pemekaran dan DOB papua terjadi, bahkan di parlemen pun sebagai representative rakyat Papua terdapat 3 hal yang paling besar, yaitu pelanggaran HAM masa lalu, yang kedua kaitan dengan pembahasan RUU Otsus yang telah disahkan yang berkaitan dengan DOB.
“Dalam pandangannya, pemerintah memiliki tujuan hanya pemekaran tapi dalam pembahasannya di DPR ada 17 pasal yang dibahas, total ada 19 pasal. Ini membuktikan bahwa pemerintah tidak mempunyai konsep dan desain terkait Otsus seperti apa,” jelasnya.
Selanjutnya, Filep menegaskan di Pasal 76 ada 2 item yaitu tentang mekanisme pemekaran,bahwa kebijakan pemekaran itu melalui pemerintah provinsi, DPR provinsi dan Majelis Rakyat Papua, jadi kata Filep, mekanismenya sudah ada.