Resesi Ekonomi Memicu Era Krisis

Diposting pada

Oleh: Riyanda Barmawi, Ketua Bidang Ekonomi Pembangunan PB HMI 2021-2023

Dunia kembali dihadapkan pada kecemasan akan ancaman resesi ekonomi yang sekarang ini sedang mengintai negara Paman Sam. Kecemasan terhadap resesi telah disampaikan oleh kepala Federal Reserve Jerome Powell, pada Rabu (22/6), di depan Komite Perbankan Senat AS.

Dia mengakui bahwa kenaikan suku bunga tajam yang ditujukan untuk mengendalikan tingkat inflasi dapat menyeret ekonomi AS ke dalam jurang resesi.

Powell bukanlah satu-satunya orang yang memperingatkan kemungkinan resesi ekonomi. Ekonom Nomura Holdings Inc, juga, memproyeksikan potensi terjadinya resesi ringan yang melanda ekonomi AS pada akhir 2022. Hal ini dikarenakan kebijakan kenaikan suku bunga Federal Reserve. Selain itu kepala eksekutif Deutsche Bank, Christian Sewing, menegaskan kalau peluang terjadinya resesi global baru 50 persen.

Sebagai negara yang memiliki peranan determinan dalam perekonomian global. Ancaman resesi yang menghantui AS menjadi tantangan bagi banyak negara, termasuk dengan dunia usaha. Peristiwa krisis 2008, semisal, membawa dampak luas dan mendalam terhadap dunia, termasuk Indonesia. Karenanya, menjadi keharusan bagi pemangku kebijakan untuk memperhatikan betul perkembangan ekonomi di negara Paman Sam.

Sebagaimana dikatakan Menteri Keuangan, Sri Mulyani, bahwa resesi ekonomi AS bukanlah sebatas wacana, melainkan telah ada di depan mata. Resesi merupakan masalah yang lazim terjadi dalam dunia ekonomi. Tetapi, efek domino yang ditimbulkan dapat merembet hingga pada aspek sosial dan politik. Sehingga mempersiapkan antisipasi dini. Mengingat ancaman resesi terjadi di tengah transisi pemulihan ekonomi pasca pandemi.

Efek Gejolak Eksternal

Indonesia merajut hubungan kerja sama ekonomi dan perdagangan dengan banyak negara. Amerika merupakan salah satu mitranya. Meskipun demikian, kedudukan Indonesia di aras ekonomi global berada dalam posisi “ekor”. Ini artinya, gejolak ekonomi AS, secara langsung dan tidak langsung, akan mempengaruhi perekonomian Indonesia. Kalau kita berkaca pada krisis yang pernah melanda negeri ini, kenyataannya, perkembangan eksternal mempunyai pengaruh signifikan terhadap ekonomi dalam negeri.

Badai krisis moneter 1997/1998 membawa dampak signifikan terhadap aspek ekonomi dan sosial politik. Kemunculannya tidak hanya memorak-porandakan ekonomi nasional, tetapi juga meruntuhkan kekuasaan presiden Soeharto yang bercokol selama lebih dari tiga dekade lamanya. Butuh waktu, kurang lebih, enam tahun agar Indonesia dapat keluar dari kubangan krisis. Sebelum akhirnya pada tahun 2004, pemulihan ekonomi mendapat hasilnya, dimana ekonomi Indonesia kembali tumbuh di angka 5 persen.

Nasib naas kembali menimpa ekonomi negeri ini pada tahun 2008. Tanda-tanda krisis yang berlangsung satu tahun sebelumnya, memuncak pada tanggal 15 September 2008, di mana Lehman Brothers dinyatakan bangkrut menyusul kegagalan di pasar subprime mortgage. Hal ini kemudian disusul oleh dua bank investasi lainnya, yakni Bear Sterns dan Merril Lynch yang membuatnya diambil alih oleh bank lain. Sedangkan Morgan Stanley dan Goldman Sachs harus beralih dari bank investasi menjadi bank komersial.

Situasi ini telah menciptakan kepanikan bagi pasar finansial global. Indonesia menjadi salah satu negara yang terkena dampaknya. Dana asing yang ditarik keluar mengakibatkan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) merosot tajam. Bursa Efek Indonesia (BEI), bahkan, harus melakukan suspensi perdagangan selama dua hari, yakni 9-10 Oktober 2008 untuk memberi jeda bagi investor agar bisa mengambil keputusan rasional di tengah gejolak pasar finansial. Di tengah kondisi demikian, kesigapan pemerintah menjadi penting.

Responsivitas dan rasionalitas pemerintah dalam mengatasi krisis di 2008 perlu dipelajari. Ada pelbagai langkah kebijakan ditempuh oleh pemerintah bersama otoritas terkait. Mulai dari eksposur minimal perbankan dan lembaga-lembaga ekonomi nasional atas subprime mortgage, penerbitan Perppu hingga BI menurunkan Giro Wajib Minimum (GWM) dari 9 persen jadi 7 persen. Semua langkah tersebut dapat dikatakan berhasil. Puncaknya, di tahun 2010, ekonomi Indonesia tumbuh di angka 5 persen.

Selain peristiwa krisis 1997 dan 2008. Ekonomi Indonesia kembali diterjang resesi ekonomi akibat pandemi coronavirus pada tahun 2020. Ditandai dengan Produk Domestik Bruto (PDB) di kuartal III-2020 mengalami kontraksi 3,49 persen secara tahunan. Kondisi ini telah membawa tekanan ke berbagai sektor, mulai dari transportasi, perdagangan, hingga industri pengolahan batu bara dan pengilangan minyak. Kendati ekonomi nasional di kuartal II-2021 tumbuh 7,07 persen. Tetapi kondisinya belum sepenuhnya pulih seperti pada masa sebelum pandemi.

Tantangan Pemerintah

Pemulihan ekonomi nasional pasca Pandemi akan menghadapi hambatan dan tantangan yang sulit. Dari masalah geopolitik Rusia-Ukraina, ancaman resesi di AS dan beberapa negara di Eropa, munculnya varian baru virus yang masih merebak hingga soal kebangkrutan akibat utang yang mengancam Sri Lanka, Nepal dan Pakistan. Semua gejolak eksternal yang terjadi di waktu yang hampir bersamaan. Hal ini kian mengaburkan prospek pemulihan ekonomi nasional pasca Pandemi.

Memang besar kecilnya dampak eksternal terhadap ekonomi domestik sangat dideterminasi oleh fundamental ekonomi negeri ini. Tapi perlu dipahami, kalau gejolak eksternal hanyalah salah satu faktor selain faktor-faktor internal. Suksesi elektoral yang akan berlangsung di 2024 mendatang menjadi tantangan tersendiri bagi kerja-kerja pemerintahan. Mengapa hal ini penting? Sebab politik dan ekonomi adalah entitas yang saling terkait dan mempengaruhi antara satu dengan yang lainnya.

Secara umum, ada dua persoalan pokok yang menjadi pekerjaan rumah pemerintah dalam rangka pemulihan ekonomi nasional. Pertama, mengantisipasi dampak jika resesi ekonomi benar-benar menerjang AS. Kedua, utang luar negeri Indonesia yang diproyeksi akan alami peningkatan karena sejumlah faktor.

Untuk yang pertama, kendati resesi ekonomi AS belum benar-benar terjadi. Namun kabar ini telah membawa efek yang cukup nyata. Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) di pekan lalu, semisal, tercatat menurun dari 2 persen, melanjutkan penurunan 1,3 persen dari minggu sebelumnya. Selain itu, pasar obligasi juga ikut tertekan akibat kebijakan kenaikan suku bunga The Fed. Faktor-faktor ini telah membuat nilai tukar rupiah telah mengalami tekanan.

Bank Indonesia (BI) sendiri mengakui bahwa saat ini nilai tukar rupiah sedang mengalami tekanan yang tinggi. Bahkan diproyeksi tekanan ini baru bisa reda di tahun mendatang 2023. Artinya, manakala nilai tukar rupiah terus merosot, dapat dipastikan, akan memicu inflasi. Dalam beberapa waktu terakhir, kabar terkait naiknya harga-harga kebutuhan pokok telah menjadi isu nasional. Mulai dari kenaikan harga Cabai, bawang merah hingga minyak goreng telah meresahkan masyarakat.

Semakin tinggi harga-harga, tentu, akan menyulitkan ekonomi masyarakat berpenghasilan rendah. Akibatnya, konsumsi rumah tangga sebagai tulang punggung ekonomi terganggu. Hal ini kemudian dapat memicu tekanan bagi pertumbuhan ekonomi nasional. Di samping itu, terdapat pula masalah BBM jenis pertalite yang distribusinya cenderung dipersulit. Baru-baru ini bahkan Pertamina rencananya akan memberlakukan kebijakan penjualan pertalite dan solar melalui aplikasi. Hal ini jelas membawa tekanan ekonomi bagi pedagang eceran.

Terkait dengan Utang Luar Negeri (ULN) Indonesia. Meskipun di April 2020 ULN mengalami penurunan yang cukup signifikan. Namun beberapa ekonomi telah memproyeksi akan ada peningkatan ULN pada 2023 nanti. Penyebabnya paling tidak ada tiga, yakni tren kenaikan suku bunga global dapat memicu peningkatan bunga ULN Indonesia; pendanaan Pemilu dan penyelesaian proyek infrastruktur yang telah dicanangkan; dan, melemahnya nilai tukar.

Persoalan ULN ini harus diperhitungkan secara cermat dan terukur. Pasalnya, dampak yang ditimbulkan bukan hanya sebatas beban utang yang harus ditanggung oleh pemerintahan di masa mendatang dan/atau generasi bangsa selanjutnya, melainkan lebih dari itu ULN sangat berkaitan erat dengan kelangsungan hidup bangsa ini. Kasus yang menimpa Sri Lanka paling tidak dapat dijadikan pelajaran berharga tentang bagaimana seharusnya ULN itu digunakan dan dikelola agar tidak melahirkan masalah di kemudian hari.

tulisan ini telah terbit di tribunnews.com