Lewat Syair, Cerita Jejak Generasi Wandan di Flores Timur NTT

Diposting pada

Merindu Wandan

Oleh: Bara Pattyradja

(Penyair Indonesia)

 Alegori

Wandan, bukan negeri berlimpah rempah semata, tetapi juga sebuah alegori. Di bentang sejarah peradabannya yang arkhaik, harum Pala telah mengikat lidah umat manusia hingga ke riuh bandar Mesopotamia.

Mengalir dalam keadaban bahari yang egaliter, luhur dan luhung; Leluhur Wandan telah membentuk identitas sosialnya sebagai puak yang kosmopolit. Terhubung secara kultural bahkan spiritual dengan suku bangsa lain lewat jalur perniagaan di Nusantara maupun di negeri negeri jauh seperti; Arab, Persia, China dan India.

Abad-abad pun berlalu dalam Jejak Tetuah yang tak mendamba koloni. Hingga tahun 1512 M , dentang lonceng mulai memuncak menyulut hasrat kuasa bangsa Eropa. Loji dibangun dengan senjata. Benteng-benteng didirikan. Wandan melawan. Menolak tunduk pada agresi berjubah kontinental.Maka perang pun berkecamuk. Bau amis mesiu, gemerincing parang dan tombak, erangan suara yang terkapar menyelimuti langit Wandan. Orang-orang mati. Gelombang genosida pertama merongrong sejarah kemanusiaan di atas tanah Boy Ratan. Darah pun hablur di genang lengang air raya.

 Folklor

Wandan, palung yang memanggil pulang. Bagai puisi yang tak pernah selesai kugubah, bumi mitis yang kerap menyodorkan padaku kerinduan purba; Pada Asal Keberanian , Asal Darah yang mengalir di tubuhku, semenjak Boy Tuan Laot pergi dari Wandan dan bermukim di Lamahala 5 Abad silam.

Entah bagaimana perjalanannya hingga ia terhubung dengan Kesultanan Ternate, menjadi Gugu lalu bersama Uli Lema  berlayar ke Alor dan Solor menebar Kalimah kisaran 1519 M , masih menyisakan pertanyaan mendalam. Namun, mushaf al-Qur’an kulit kayu yang dibawa serta dalam migrasi, adalah  bukti inskripsi historis yang sulit terbantahkan.

Di Lamahala (Flores Timur, NTT), kampung kecil yang plural dengan sejarahnya yang besar, Boy Tuan Laot bermukim dan menjadi akar pohon silsilah Suku Wadda’ yang hingga kini telah menurunkan nasab 9 trah. Di Kampung dengan penduduk 100 persen Muslim (kurang lebih 8000 jiwa) ini, keberadaan Suku Wadda’ bersama Suku Seran (Seram) dalam tatanan adat memangku Pegawai Imam. Sebagaimana syair yang diwariskan secara turun temurun dalam tradisi lisan Lamaholot; “Said Seram Lera Gere, Pati Wandan Nuan Tawa.” (Said Seram sumber matahari terbit, Pati Wandan pendar cahaya).

Menariknya, Boy Tuan Laot, dalam perlintasannya ke Lamahala, juga tidak lupa membawa memori kolektif (folklor) yang hidup dan menghidupinya di negeri Wandan.

Saya masih sangat belia. Medio 1980-an. Nenek saya, Haja Siti Sarah , menjelang tidur selalu mengulang kisah-kisah epik. Termasuk menyebut urutan nama-nama moyang seperti, Belang Ola , Gunung Api, Jou Utan dll.

Di kemudian hari, saya mulai menemukan  kata Belang adalah nama jenis armada perahu militer/angkutan dalam tradisi bahari Wandan, juga Gunung Api adalah halaman depan  kepulauan Wandan.

Saya mulai menyadari bahwa nama bukan sekedar nama sebagaimana Penyair Shakespeare menoreh kata; apa arti sebuah nama . Nama dalam elan kebudayaan orang Wandan justru merupakan penanda linguistik yang menggambarkan watak dan jejak kosmologis manusia yang menyandangnya. Sebuah simbol bahasa yang menjadi acuan ke masa lalu.

Ada pula sebuah kisah yang terdengar absurd namun hampir setiap malam dituturkan oleh Nenek saya kurang lebih 32 tahun yang lalu. Kisah ini tertanam (embedded) begitu dalam di benak saya hingga hari ini.

Pada sebuah masa, saat matahari beranjak sepenggala, Putri Wandan menenun  di beranda rumahnya yang menghadap ke Laut. Sesekali ia melihat pemandangan yang eksotis di depan matanya. Belum usai menenun, kala tengah melemparkan tatapannya  ke laut, ia melihat seekor ikan berenang  di atas permukaan laut yang tenang dan biru. Ikan tersebut seolah-olah sedang memamerkan keindahan lekuknya.

Buih dan gelembung air menciptakan suasana yang magis. Ikan jenis Ki Ko (Hiu Putih) itu terus mengundang perhatian sang Putri. Begitu setiap pagi kejadian serupa berulang.

Pada suatu ketika, saat Ki Ko muncul, sang Putri berdecak kagum dan memberinya untaian kekata pujian. Setelah itu hari-harinya berlalu dalam kegelisahan. Secara metafisis sang Putri mengandung. Kepada kedua orang tua dan keluarganya, ia mengaku bahwa suaminya berasal dari laut.

Maka, keesokan pagi, semua keluarga bersepakat menghantar Putri Wandan ke tepi laut lengkap dengan barang bawaan dan segala pernak perniknya.

Berdiri di tepi Pantai, sambil mengucapkan kata kata dan melemparkan pandangan ke arah dimana Ki Ko biasa muncul, Putri Wandan sepenuhnya berserah diri.

Ki Ko mulai tampak di atas permukaan laut. Mengibas ekornya. Orang-orang terpaku. Suasana begitu hening. Tak ada yang berani bicara. Tak ada. Tak satu kata pun!

Lidah ombak perlahan mulai menyapu tubuh sang Putri. Seolah laut sedang membilasnya, memurnikannya, merestuinya. Tak berselang lama, hempasan ombak kembali menerpa sekujur badannya. Ki Ko menjemputnya. Lalu Putri Wandan hilang bersama Ki Ko dan seluruh barang bawaannya seperti di telan bumi!

Begitulah, folklor menjadi penanda. Bagaimana sebuah suku bangsa merumuskan dan menjelaskan tentang apa dan siapa dirinya.

Nenek lalu menerangkan pada saya bahwa peristiwa dalam cerita itu adalah jawaban mengapa Suku Wadda’ di Lamahala pantang mengkonsumsi ikan Ki Ko.

Folklor adalah produk kebudayaan. Cara manusia mengidentifikasi keberadaan eksistensial bahkan metafisisnya.

Dari Folkor tersebut tabir pencarianku menemui titik tolak dan pijakan yang kokoh. Sebuah benang merah dan mata rantai kesadaran dunia. Mentality. Atau sejarah metal. Dalam pengertian paling mendasar, kisah Putri Wandan yang dituturkan di Lamahala, adalah migrasi folklor Boikekeh.  Sebuah migrasi ingatan kolektif 5 Abad, tentang dari mana muasal diri,  agar tidak lupa jalan pulang…

Penulis adalah generasi Wandan yang bermigrasi ke Flores, Nusa Tenggara Timur

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *