BELENGGU PATRIARKI DI TUBUH KEPOLISIAN INDONESIA

Diposting pada

Imayati Kalean
(Sekretaris Umum Kohati PB HMI)

AKP RY adalah satu dari sekian banyak Polwan yang terjerat skandal dengan atasannyadi institusi Polri tempatnya bekerja. Sebelumnya muncul tidak sedikit beritaserupa, seperti Polwan menjadi simpanan, Polwan menjadi selingkuhan, dan berita lainnya yang mencoreng nama baik Polwan yang seharusnya bersahaja, tangguh, dan kuat sebagaimana tugas yang diembannya sebagai penegak hukum, serta penjaga keamanan dan ketertiban masyarakat. Kisah AKP RY dan Polwan lainnya menjadi peringatan penting bahwa institusi kepolisian masih belum merdeka dari patriarkisme.

Diberitakan hampir setiap hari bahwa AKP RY merupakan selingkuhan Irjenpol FS yang saat ini sudah ditetapkan tersangka sebagai pembunuh Brigadir J, bahkan kabarnya sudah menikah sejak tahun 2014. Kondisi ini menggambarkan bahwa ada yang tidak beres dengan pola hubungan Polwan dengan atasan laki-laki di tubuh Polri. Ketidakberesan ini dilihat dari relasi kuasa yang sangat kuat ditambah dengan cara pandang polisi laki-laki terhadap Polwan di institusi Polri itu sendiri. Dalam sebuah tulisan Tempo.com (Rabu, 4/09/2013) disebutkan bahwamasih banyak pejabat Polri, terutama yang menjadi pimpinan, yang memanfaatkan posisi mereka untuk menekan polwan bawahannya. Tidak jarang atasan meminta Polwan melakukan pekerjaan yang diluar tugas, seperti menemani hingga larut malam, bahkan sekedar jalan keluar yang tidak ada kaitannya dengan kedinasan. Hal ini mengkonfimasi bahwa lingkungan institusi kepolisian RI masih belum ramah perempuan.

Pada Konferensi Polwan Sedunia tahun 2021, disebutkan bahwa jumlah Polwan di Indonesia hanya 5% dari total jumlah anggota Polri sebanyak 450.000. Selain itu, masih sangat sedikit perempuan yang menduduki posisi pimpinan di Polri. Jika dibandingkan dengan negara lain, rata-rata jumlah Polwannya lebih dari 10%, termasuk jumlah polisi perempuan yang menempati posisi strategis. Presentasi yang masih dibawah rata-rata ini menegaskan untuk dikuatkan lagi pengarusutamaan gender di tubuh Polri. Perlu dipahami bersama bahwa jumlah Polwan akan sangat mempengaruhi lingkungan Polri untuk menjadi lebih ramah terhadap perempuan, bukan hanya bagi Polwan tetapi juga akan sangat berpengaruh pada penegakan hukum terhadap kasus yang berkaitan dengan perempuan. Lagi-lagi, akar masalalah tersebut adalah budaya patriarki.

Budaya patriaki tersebut terlihat dalam pola rekrutmen Polwan. Pertama, hasil beberapa studi menyebutkan bahwa tampilan fisik menjadi salah satu syarat tidak tertulis yang sangat dipertimbangkan, yakni Polwan harus terlihat “good lookingdan baik”.Syarat itu diperhitungkan sebagai bagian penting dari peran Polwan untuk berbaur dengan warga dan menepis citra polisi pria yang korup (Tempo.com/2018).Kedua, Human Rights Watch (HRW) yang menemukan masih ada tes keperawanan dua jari bagi perempuan-perempuan yang hendak jadi anggota polisi. Praktik ini masih terus berlangsung meski telah mendapat tekanan internasional dan bahkan secara resmi telah dihapus sejak tahun 2014 sebagai syarat tes Polwan di Indonesia.

Tidak sampai disitu saja, budaya patriarki mengakar hingga pada pola penugasan Polwan. Sedikitnya ada lima pandangan terhadap Polwan yang merupakan bentukan dari budaya patriarki. Pertama, bahwa Polwan dianggap lebih pantas melakukantugas-tugas administrasi karena lebih teliti. Kedua, dengan alasan kodrat, etika, dan normatif, Polwan tidak diberikan tugas berat atau tugas pada malam hari. Ketiga, sangat jarang Polwan yang ditempatkan pada satuan reserse atau intelijen karena dianggap tidak mampu secara fisik. Keempat, tugas turun lapangan tidak diberikan kepada Polwan karena dianggap kurang efektif.Pandangan-pandangan inilah yang mempersulit terciptanya kesetaraan gender di tubuh kepolisian. Terlihat dengan jelas bahwa patriarkisme merupakan akar masalah yang penghambat kemajuan dan perkembangan polisi perempuan, baik dari sisi kualitas, karir hingga jumlah. Maka reformasi di tubuh Polri yang saat initerus digaungkan, dan semakin menguat akibat kasus duren tiga, jangan sampai melupakan perihal ini. Perlu kesadaran bersama, khususnya di internal Polri bahwa kesetaraan gender menjadi kunci penting untuk mewujudkankonsep presisi Polri yang sesungguhnya. Menghapus patriarki, membuang jauh-jauh komodifikasi terhadap polisi perempuan serta menempatkan Polwan pada posisi dan peran tanpa melihat ‘embel-embel’ fisik akan mewujudkan insitusi kepolisian yang ramah gender dan partner kerja yang setara sebagai perempuan dan laki-laki. Maka penghormatan dan kepatuhan bawahan terahdap atasan tidak terjadi karena sebuah ‘tekanan’ yang tidak masuk akal, dan yang lebih penting terbangun sistem rekrutmen, penugasan, dan relasi di insitusi Polri yang ramah gender.